Thursday 9 January 2014

Bye-bye, Burung Hantuku

Namaku Gevita Albania Vinn. Aku tahu, kalian berpikir bahwa namaku aneh. Akupun mengakuinya, semua orang bilang begitu, kecuali ayahku. Ya, karena ayahku lah yang memberikan nama itu. Gevin, adalah nama kakekku. Maka dari itu aku diberi nama Gevita, biar mirip sama nama kakekku. Kata ayah, dalam bahasa latin, Alba berarti putih. Dan di belakang namaku, ada "Vinn" yang diambil dari nama ayahku, Vinndex. Kata ayah (lagi), namaku dibuat berdasarkan penamaan Binomial nomen... no men no cry, no women no cry, apalah itu aku juga tidak terlalu paham. Huh, dasar ayah Biologi-lover. Dan inilah ceritaku saat aku berumur 8 tahun...

Suatu malam, aku merengek tak henti-hentinya pada ayahku untuk bisa memelihara burung karena teman-teman di komplek semuanya punya hewan peliharaan. Peliharaan mereka bermacam-macam. Ada kelinci, kucing, anjing, kura-kura, ikan, dan masih banyak lagi. Tapi tak seorangpun ada yang memelihara burung. Maka dari itu, aku ingin sekali memelihara burung. Hmm, tapi sepertinya ini hanya akan jadi rengekanku saja, karena ayahku sepertinya tidak suka hewan peliharaan.

Saat aku berlari-lari pagi bersama ayahku di sekitar komplek rumah, aku melihat sebuah gumpalan yang dari jauh terlihat seperti batu. Aku penasaran dan mendekati benda itu. Ada sedikit gerakan. Semakin aku mendekatinya, dan semakin terlihatlah wujud aslinya. Dari pengamatanku, itu adalah burung hantu dan sayapnya terluka.

Lalu aku memanggil ayahku agar cepat mendekat. "Ayah, lihat ini. Dia terluka. Tapi sepertinya masih hidup."

Ayahku mendekat dan mengernyitkan dahi. "Hmm, ini burung hantu. Nama latinnya adalah Tyto alba, dari famili Tytonidae. Benar, dia masih hidup. Ayo kita bawa pulang, kita obati di rumah."

"Bolehkah ayah? Asiiiik." Kataku dengan riang gembira karena tidak menyangka ayahku akan menolong burung itu.

Setibanya di rumah, ayah mengobatinya seperti layaknya seorang dokter hewan. Sayapnya yang terluka dibalut dengan perban. Aku menatapnya dengan iba. "Ayah, apa dia akan sembuh?"

"Tentu saja. Mungkin dua atau tiga hari lagi dia sudah bisa terbang." Dengan senyumnya, penjelasan singkat ayah semakin melegakanku.

"Hhh, syukurlah. Ini dia hewan peliharaanku. Aku beri nama dia Alba, agar mirip dengan namaku, dan karena wajahnya berwarna putih." Ucapku dalam hati.

Seperti yang ayah bilang, burung hantu itu sudah sembuh. Kini Alba sudah bisa bersuara. Lalu aku pergi ke dapur untuk mengambil beberapa makanan untuknya. "Hmm, apa ya yang dia suka?" Gumamku. Karena bingung, aku bawa semua buah-buahan yang ada di kulkas lalu ku masukkan ke dalam sarang semua buah-buahan itu agar dia memilih sendiri buah yang dia suka. Aku sangat tidak sabar melihatnya makan. Tapi lama-lama aku bosan, karena dari tadi Alba sama sekali tak menyentuh buah-buahan yang aku bawa. "Huh, memangnya dia tidak lapar?" Gumamku sebal.

"Hahaha, sejak kapan burung hantu jadi fruitarian?" Tawa ayah yang mengagetkanku. "Ini, ayah bawakan makanan untuk Alba." Lanjut ayah membawa seekor tikus mati. Ternyata ayah sudah tahu namanya.

"Jadi, burung hantu ini hewan karnivora. Apa coba, karnivora?" Tanya ayah yang sepertinya sedang mengetesku.

"Iya tahu, pemakan daging." Jawabku yang masih sedikit sebal.

"Pinter, anak ayah." Puji ayahku. "Ya sudah, biarkan Alba sendiri dulu, nanti malu loh kalau ditunggu." Lanjut ayahku sambil melenggang yang hanya kubalas dengan gelengan kepala.

Sambil duduk di sebelah sangkar, aku memperhatikan Alba yang sedari tadi hanya berdiri, atau duduk, eh, ah entahlah. Aku juga tidak tahu dia sedang duduk atau berdiri. Satu sisi aku sangat senang karena sekarang aku sudah memiliki hewan peliharaan seperti keinginanku, burung. Tapi di satu sisi, aku sedih, kenapa Alba tidak aktif seperti burung-burung yang lain. "Ayo dong Alba, makan kek, joget-joget kek, ngoceh kek, dari tadi cuma dieeeem aja. Memangnya kamu gak bosen apa?" Mataku yang sudah tidak sabar melihat Alba beraksi, ditambah tanganku yang sedari tadi sudah gatal, ditambah lagi keberadaan sapu lidi yang tidak jauh dari tempatku duduk membuatku berpikiran untuk mengusili Alba dengan sebuah batang lidi. Tapi tetap saja Alba bertahan di posisinya, dan dia hanya diam. "Ah, mungkin dia masih belum sembuh total. Mungkin besok dia mau bermain denganku." Pikirku. "Bye Alba." Lalu aku pergi meninggalkan Alba dan bermain dengan teman-temanku.

Keesokan paginya, saat aku akan berangkat sekolah, aku menyempatkan diri untuk bertemu Alba. "Woy, Alba... Bangun! Masih tidur aja, dasar pemalas. Aku berangkat sekolah dulu yaa." Lalu aku pergi ke sekolah.

Di sekolah, aku terus memikirkan Alba. Apa yang sedang dilakukan Alba? Apa dia sudah makan? Apa yang akan ku lakukan selepas pulang sekolah nanti bersama Alba? Pertanyaan-pertanyaan ini membuatku tidak konsentrasi dalam belajar di sekolah. Hingga bel pulang berbunyi. Aku senang sekali, dan aku tidak sabar untuk bertemu Alba.

Setibanya di rumah, aku melihat pemandangan yang tidak seperti bayangan indahku di sekolah. Lagi-lagi Alba hanya diam berdiri di sangkarnya. "Albaaaa, ah." Lalu aku masuk rumah dengan perasaan kecewa.

"Lho, adik kenapa? Kok pulang-pulang marah-marah?" Tanya ibuku sambil tersenyum.

"Itu, Alba diem terus, nyebelin." Jawabku dengan nada datar yang hanya dibalas belaian tangan ibuku dengan senyum yang tetap mengembang.

Hari berganti hari, dan dalam pergantian hari itu, aku selalu menghampiri Alba. Namun seperti yang bisa diprediksikan, Alba hanya diam berdiri seperti patung tak bernyawa, jadi aku lebih memilih untuk bermain bersama teman-teman komplek. Di saat itu, aku selalu kepikiran Alba. Mereka terlihat gembira saat menceritakan tingkah laku hewan peliharaannya, sementara aku tidak pernah melihat hewan peliharaanku bergerak seperti layaknya makhluk hidup.

Di suatu sore, sepulang aku dari bermain, aku bertanya kepada ayahku. "Ayah, kenapa sih Alba diem terus? Apa dia masih sakit? Apa dia belum sembuh?"

"Sini Gevi, duduk. Burung itu kan ada macam-macam jenisnya, seperti yang biasa kita temui, burung merpati, burung pipit, burung gereja, kalau kita lihat kan mereka terbang ke sana kemari, makan biji-bijian, buah-buahan di siang hari. Berbeda dengan Alba. Alba ini kan burung hantu. Dia termasuk hewan nokturnal, yang artinya aktif pada malam hari. Jadi, pada malam harilah dia beraktivitas, makan, bersuara, terbang." Jelas ayahku. Aku hanya mengangguk-angguk sambil memandangi Alba yang terlihat memelas.

"Hewan ini seharusnya tidak dikurung di dalam sangkar seperti ini, Gevi. Karena dia sudah dibekali insting untuk bisa mencari makan dan melindungi dirinya sendiri. Karena pada dasarnya, hewan ingin hidup bebas. Gimana coba kalau Gevi ayah kurung terus di rumah? Gevi mau?" Tanya ayahku.

"Gak mau ah, ayah. Nanti Gevi gak bisa main sama temen-temen dong." Jawabku yang sepertinya meyakinkan.

"Nah, begitu pula dengan Alba. Dia juga ingin hidup bebas. Dia ingin terbang bersama teman-temannya. Kan kasihan kalau Alba dikurung sendiri di sini. Kan? Nanti malam, kita lepaskan Alba ya?" Kata ayahku memberi pengertian. Aku mengangguk.

Dalam sore yang menjelang malam, aku belajar sesuatu. Tentang merelakan. Demi kebahagiaannya, aku rela melepaskannya untuk hidup bebas, meskipun tanpa aku bersamanya. Alba tidak akan bahagia jika dia tetap tinggal di dalam sangkar ini.

Dan malam itu, aku memegang Alba dan berkata padanya seolah dia mengerti bahasaku. "Alba, walaupun kebersamaan kita begitu singkat, tapi aku akan selalu mengingatmu. Terimakasih karena kamu sudah mengisi hari-hariku belakangan ini. Semoga kamu bahagia bersama teman-temanmu di luar sana, Alba." Tanpa sadar, aku menitikkan air mata. Lalu ku lepaskan Alba dan terbanglah dia menuju alam bebas.

Selamat tinggal, Alba. Bebaslah kau sekarang. Aku menyayangimu.


Dan hanya ingin mengutip, "Kago no naka no tori no you na. Utsuro na me ni furete iru." (L'Arc~en~Ciel, 1994)

0 comments:

Post a Comment

 

LIMPPOMPOM Template by Ipietoon Cute Blog Design and Waterpark Gambang